Faktor-faktor yang Menghambat Belajar Matematika
Seringkali matematika dianggap sebagai “momok”, dipersepsi sebagai
pelajaran yang sulit oleh sebagian siswa sekolah. Anak merasa deg-degan,
cemas dan takut setiap kali mengikuti pelajaran matematika di sekolah.
Bahkan ada anak yang karena begitu takutnya terhadap matematika, sampai
“mandi keringat” ketika diminta untuk mengerjakan soal di papan tulis.
Matematika bagi sebagian anak telah menimbulkan kecemasan tersendiri.
Ada beberapa hal yang kiranya dapat diajukan sebagai faktor penyebab
timbulnya kecemasan anak terhadap matematika. Pertama, matematika
sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan di sekolah merupakan
cabang ilmu yang spesifik. Berbeda dengan ilmu pengetahuan lain,
matematika tidak mempelajari obyek-obyek yang secara langsung dapat
ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda
pikir yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika lahir dari
hasil pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun
dalam perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak.
Obyek matematika adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip yang
kesemuannya itu berperan dalam membentuk proses berpikir matematis,
dengan salah satu cirinya adalah adanya alur penalaran yang logis.
Sehingga apabila dibandingkan dengan bidang studi lain, matematika
relatif dianggap lebih sulit, karena dibutuhkan konsistensi dalam
mempelajarinya.
Kedua, persepsi yang berkembang dalam masyarakat
bahwa matematika sulit, telah mengkooptasi pikiran sebagian anak.
Sehingga anak akan beranggapan seperti demikian, ketika berhadapan
dengan matematika. Pandangan bahwa matematika merupakan ilmu yang
kering, abstrak, teoritis, banyak rumus yang sulit dan membingungkan,
yang didasarkan atas pengalaman kurang menyenangkan ketika belajar
matematika di sekolah, telah membangun persepsi negatif pada diri anak.
Hal ini telah membangun jarak antara anak dengan matematika. Sehingga
sebagai ilmu pengetahuan matematika tidak dipandang secara netral lagi.
Ketiga, pembelajaran matematika yang “kering”, monoton dan guru yang
cenderung represif, membuat anak merasa tertekan. Anak cenderung menutup
diri, kurang dapat bereksplorasi dan mengekspresikan dirinya dalam
proses pembelajaran. Pembelajaran matematika pun akhirnya tidak menjadi
media untuk melatih olah pikir, melainkan matematika dipahami dengan
cara menghafal.
Keempat, tuntutan untuk mendapatkan nilai yang
baik dalam pelajaran matematika dari orang tua dan juga guru, tanpa
disadari telah membuat anak cenderung berorientasi pada hasil atau nilai
yang tinggi dalam matematika, tetapi mengabaikan proses. Dan ketika
anak mendapatkan hasil yang kurang memuaskan, mereka akan merasa
tertekan dan menganggap dirinya bodoh. Meskipun nilai yang diperoleh
baik, tapi pengetahuan yang dikuasainya sangat minim, karena secara
konseptual memang sebenarnya anak tidak banyak paham.
Matematika
memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Sebenarnya
hampir setiap hari manusia bersentuhan dengan matematika. Banyak yang
telah disumbangkan matematika untuk kemajuan perababan manusia.
Perkembangan teknologi dan juga ilmu pengetahuan lain, tidak lepas dari
peranan matematika. Oleh karenanya mempelajari dan menguasai matematika
dengan baik adalah sebuah keharusan. Permasalahannya sekarang, bagaimana
anak-anak kita dapat mempelajari matematika dengan baik, kalau setiap
kali berhadapan dengan matematika selalu merasa cemas dan ketakutan?
Membaca situasi demikian, dimana kecemasan anak terhadap matematika
begitu besar, kiranya perlu untuk menghadirkan matematika yang lebih
manusiawi. Sehingga kecemasan tersebut dapat dikurangi. Dan pada
akhirnya nanti matematika kembali dipandang secara wajar, tidak dilihat
sebagai “momok” yang menakutkan.
Beberapa pemikiran yang kiranya
dapat disumbangkan untuk membantu mengurangi kecemasan anak terhadap
matematika adalah: Pertama, bagaimana menumbuhkan kembali minat anak
terhadap matematika. Ini dapat dilakukan apabila pelajaran matematika
disajikan secara menarik. Selama ini matematika dianggap sebagai ilmu
“kering” karena dalam pembelajarannya kurang menarik. Kurangnya inovasi
dan kreatifitas guru dalam pembelajaran matematika menyebabkan anak
bosan. Metode pembelajaran yang lebih variatif dan kaya, kiranya dapat
membantu mengurangi kejenuhan anak dalam mempelajari matematika.
Kedua, perlunya guru untuk mengaitkan materi dengan peristiwa atau
kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini penting untuk menghindari
pandangan bahwa matematika hanya melulu konsep/teori. Dengan menunjukkan
keterkaitan matematika dengan realitas kehidupan, akan menjadikan
pelajaran matematika bermakna bagi anak. Anak dapat menerapkan
konsep/teori yang dipelajarinya untuk memecahkan persoalan riil yang
dihadapi dalam keseharian. Dengan demikian anak melihat kegunaan
matematika bagi kehidupan mereka.
Ketiga, perlunya menampilkan
sisi lain matematika yang kurang dikenal anak dalam pembelajaran.
Tuntutan dan beban kurikulum, seringkali mematikan kretifitas guru dan
anak dalam pembelajaran matematika. Guru cenderung mengejar target
penyelesaian materi, sehingga banyak sisi lain dari matematika yang
tidak dihadirkan dalam pembelajaran. Akibatnya anak mengenal matematika
tidak secara utuh. Matematika sebagai bagian integral dari kebudayaan
manusia, mengandung dimensi kemanusiaan dan memiliki keindahannya
tersendiri. Namun hal itu jarang sekali disentuh dalam pembelajaran
matematika di sekolah. Sebagai contoh, sejarah matematika dengan segala
pergulatan para tokohnya jarang dipelajari di sekolah. Padahal dari
sini, anak bisa belajar membangun sikap dan minat yang positip terhadap
matematika. Pengalaman penulis, di kelas matematika ternyata kami bisa
tertawa bersama, ketika ada teman yang membacakan “puisi matematika”nya.
Dari puisi yang ditulis dengan menggunakan istilah-istilah matematika
ini, terlihat sejauh mana anak menguasai dan memahami konsep matematika.
Dalam puisi tersebut konsep matematika berperan sebagai bahasa ungkap.
Tanpa menguasai konsep matematika, anak akan kesulitan mengungkapkan
idenya kedalam puisi matematika.
Keempat, perlunya keberpihakan
guru kepada anak dalam pembelajaran matematika. Seringkali dalam
pembelajaran terjadi dikotomi antara guru dan anak. Guru berperan
sebagai subyek pembelajaran, sementara anak menjadi obyeknya. Dikotomi
ini harus digeser, sehingga yang ada, baik guru maupun anak bersama-sama
menjadi subyek pembelajaran. Guru dan anak bukanlah dua pihak yang
saling berhadapan, karena jika demikian halnya akan terbentang jarak
antara keduanya. Tetapi bagaimana guru dapat berperan sebagai teman yang
berpihak pada anak, mau terbuka untuk mendengarkan, dan membantu setiap
kesulitan yang dihadapi anak. Bukan berdiri sebagai pihak yang
menghukum ketika anak dalam kesulitan. Kondisi demikian akan mendorong
anak untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran, menggali secara
lebih dalam potensi dan kemampuannya, serta dapat menumbuhkan sikap dan
minat positip anak terhadap matematika.
Kelima, dibutuhkan peran
serta aktif orangtua dalam membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap
matematika. Seringkali tanpa disadari tuntutan orang tua agar anak
mendapatkan nilai yang baik, membuat anak merasa tertekan dan terbebani.
Kadang orangtua tidak memahami kesulitan yang dihadapi anak. Sebaliknya
orangtua malah memperparahnya dengan memarahi dan menyalahkan,
akibatnya anak semakin frustasi dan semakin membenci matematika.
Sebenarnya yang dibutuhkan anak dari orangtua adalah pengertian,
keberpihakan dalam wujud dukungan, dan pendampingan. Orangtua dapat
bekerjasama dengan guru di sekolah untuk mengetahui sejauh mana
perkembangan anak, mendiskusikan kesulitan anak. Hal ini penting agar
ada sinergi antara guru dan orangtua dalam pendampingan anak.
Akhirnya, anak hanya dapat berkembang secara optimal, dapat
mengekspresikan dirinya dengan penuh kreatifitas, jika ia tidak
menyimpan kecemasan. Sebab anak yang cemas berarti dia tidak bebas, dan
ketika anak tidak bebas maka dia tidak bisa tumbuh dan berkembang secara
optimal. Karena hanya orang bebaslah yang mampu mencipta, berkreasi dan
mengembangkan dirinya secara optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar